OpiniPendidikan

AY0 BERSAMA BELAJAR MENUJU SOCIETY 5.0

Yanti Devi Wijaya, Guru SMK Negeri Wongsorejo

 

topiknews, Banyuwangi- Sekelompok murid duduk berjajar di balai sasana kreasi dengan fokus pada smartphone masing-masing. Sebagian ada yang tersenyum-senyum kecil sendiri, beberapa ada yang terlihat tegang dengan permainan pada gadgetnya.

Terdengar dering bel dan suara peringatan sang operator pada corong suara di sekolah, bahwa waktu masuk kembali ke kelas, dan pelajaran akan segera dimulai.
Beberapa anak masih tetap tidak bergeming sama sekali dari balai sasana kreasi, tetap asyik dengan gadgetnya. Saat ada seorang guru yang menegur, dengan malas mereka baru beranjak menuju kelas tempat belajar.

Seorang guru menanyakan kepada para muridnya di kelas tentang siapa yang sudah menyelesaikan tugas membuat powerpoint tentang diri masing-masing murid. Tetapi tak seorang pun mengangkat tangan. Guru menanyakan kembali siapa yang sudah menyelesaikan tugas individu pada pelajarannya yang sudah ditugaskan pada minggu yang lalu, tetapi tidak seorang muridpun mengangkat tangannya untuk menandakan selesai mengerjakan tugas.

Di atas adalah beberapa gambaran kebiasaan yang terjadi di sekolah pinggiran.Teknologi tidak terhalang oleh apapun untuk merambah masyarakat meski di daerah pinggiran. Nyaris semua siswa tidak ada yang tidak memiliki smartphone. Tetapi apakah masyarakat mampu mengimbangi kemajuan teknologi yang cepat dan pesat itu dengan sikap yang bijak? Apakah pola pikir dan karakter masyarakat juga semaju dan sepesat kemajuan teknologi?
Menangis serasa hati ini seakan tak berdaya, saat hampir satu bulan sebagian besar murid hanya tahu tentang dua kata tanpa memahami maknanya. Hanya dua kata, hak dan kewajiban.

Buku tersedia, menjelaskan sudah berulang-ulang, teknologi juga mendukung. Tapi untuk mengajarkan pada tahap kemampuan memahami dan menjelaskan makna sesuatu hal sulit untuk tercapai 85% murid tuntas.

Sedangkan secara teori guru tidak lagi boleh aktif menjelaskan di depan kelas, tetapi harus murid aktif dengan bimbingan guru.
Untuk menghibur diri saya ingat saja pesan almarhum Mbah Maimoen Zubair, bahwa ” jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang, nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar, ikhlasnya jadi hilang, yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik, masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah, didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

Ya, sudahlah, setiap pagi sebelum ke sekolah saya doakan anak-anak murid saya supaya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Mampukah Lembaga Pendidikan untuk Percepatan Transformasi Menuju Sosiety 5.0 dalam Mengimbangi Era 4.0?
Di era 4.0, dimana berbagai macam pekerjaan manusia sudah banyak digantikan oleh teknologi, tenaga robot, maka kemampuan masyarakat pun harus mengikuti perkembangan teknologi yang dibutuhkan. Di sinilah masyarakat dituntut untuk transformasi menuju society 5.0.

Kurniawan Adi Santoso dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Untuk Menyambut Masyarakat 5.0, Society 5.0, sebuah masa dimana masyarakat berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial oleh system yang mengintegrasikan ruang dunia maya dan ruang fisik. Society 5.0 akan menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan menyelesaikan masalah sosial.”
Seperti yang sudah banyak kita tahu, bahwa di era 4.0 ada beberapa kemampuan yang harus dikuasai, yang biasa disebut dengan kemampuan 4C (Creative, Critical Thingking, Comunikation, dan Collaborative).

Lembaga pendidikan diharapkan mampu untuk mengembangkan peserta didiknya memiliki kemampuan dalam hal kreatifitas, berfikir kritis dengan penerapan sistem HOTS (Higher Order Thinking Skills), mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal komunikasi, dan juga dalam hal kemampuan bekerja sama.
Target pendidikan di negara ini salah satunya dengan adanya standar nilai Ujian Nasional, yang saya tidak tahu penentuan standar itu mungkin sudah dari data hasil pendidikan di tingkat nasional, yang semoga tidak hanya dari masyarakat yang ada di kota, yang kondisi masyarakatnya berbeda dengan masyarakat di pinggiran.

Sebagian besar sekolah di kota-kota besar, peserta didik di sekolah tersebut sudah memiliki pola pikir yang maju, dalam artian tinggi tingkat kesadaran untuk ingin mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan di sekolah. Tidak seperti pada masyarakat pinggiran, yang sebagian masih memikirkan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka bisa berlangsung tanpa kekurangan, sehingga kadang mengesampingkan pendidikan dalam keluarga.

Sebagian tantangan pengajar di pinggiran adalah bagaimana merubah pola pikir peserta didik untuk sadar akan pentingnya menambah pengetahuan akan ilmu dan teknologi. Jadi pada daerah pinggiran itu belum bisa untuk menargetkan bagaimana untuk meningkatkan kualitas pendidikan setara nasional, tapi masih pada taraf bagaimana memotivasi peserta didik untuk sadar akan makna belajar dan pembelajaran guna bekal kehibupan. Dimana masalah belajar tentang ilmu pengetahuan itu akan mudah disampaikan oleh pengajar dan diterima oleh peserta didik, apabila karakter pada lembaga pendidikan itu sudah terbentuk, tidak hanya pada peserta didik, tetapi pada semua warga sekolah, terutama para pendidik yang harus dapat menjadi panutan bagi peserta didiknya.

Teringat sebuah quotes dari Haim Ginott berikut: Mengajar bukan profesi, Mengajar adalah kegemaran, Aku telah mencapai sebuah kesimpulan yang menakutkan, bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas. Pendekatan pribadikulah yang menciptakan iklimnya, suasana hatikulah yang membuat cuacanya. Sebagai seorang Guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan, apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan dipermalukan sebagai manusia atau direndahkan.

Mampukah lembaga pendidikan melakukan percepatan menuju masyarakat 5.0? Adalah pertanyaan yang bisa kita jawab sendiri-sendiri pada diri para pengajar di lembaga pendidikan. Karena bagaimanapun juga seperti quotes dari Haim Ginott, salah satu kuncinya adalah pada diri pengajar itu sendiri dengan segala tekat dan kemampuannya dengan berbagai macam strategi yang mampu untuk diterapkan. Ayuk. sama-sama kita belajar.! Mengajar dan belajar untuk menyentuh masa depan yang lebih baik.

Related Articles

Back to top button
×