Menilik Fenomena Serangan Fajar dalam Konteks Pilkada dan Posisi Hukum
Topiknews.co.id – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya adalah proses demokrasi yang menjadi ajang penentu bagi rakyat dalam memilih pemimpin yang akan memegang amanah untuk mengelola daerah. Namun, fenomena serangan fajar—praktek pemberian uang atau barang kepada masyarakat demi mendapatkan suara—seakan menjadi realitas yang tak lagi tabu dalam pelaksanaan Pilkada di berbagai wilayah, termasuk di Jawa Timur. Pernyataan Ketua LSM GMBI Dewan Pimpinan Wilayah Teritorial Jawa Timur, Sugeng SP, terkait praktik ini perlu disikapi secara kritis dengan sudut pandang hukum dan tata kelola demokrasi.
Praktik Serangan Fajar dan Perspektif Hukum
Serangan fajar jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan tegas menyatakan bahwa pemberian uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih adalah tindak pidana. Ancaman pidananya pun tidak ringan, yakni kurungan hingga enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Namun, fenomena ini masih berlangsung secara masif dan seakan-akan menjadi praktik normal yang dibiarkan. Kesan “pembiaran” oleh Aparat Penegak Hukum (APH) memperlihatkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan, penindakan, dan penegakan hukum. Bahkan, apabila benar bahwa ada elemen APH yang mengetahui dan membiarkan praktik ini, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap asas profesionalitas dan integritas yang wajib dijunjung oleh lembaga penegak hukum.
Tantangan Pengawasan Pilkada
Praktik serangan fajar kerap kali sulit diungkap karena sifatnya yang terorganisir namun terselubung. Para pelaku biasanya menggunakan modus-modus kreatif, seperti pemberian secara tidak langsung melalui relawan, penggunaan program bantuan sosial sebagai alat kampanye terselubung, atau memanfaatkan celah-celah hukum dalam proses penyaluran dana.
Dalam konteks ini, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Aparat Penegak Hukum (APH) sangat vital. Mereka harus memastikan bahwa segala bentuk kecurangan, termasuk serangan fajar, ditindak tegas sesuai dengan hukum. Namun, jika justru ada indikasi pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum tertentu, maka hal ini mengancam kredibilitas proses demokrasi dan penegakan hukum di negara ini.
Pentingnya Kesadaran Masyarakat dan Peran Lembaga Independen
Pernyataan Sugeng SP juga mengingatkan pentingnya peran masyarakat dalam menciptakan Pilkada yang bersih. Masyarakat harus diberdayakan untuk menolak segala bentuk politik uang dan melaporkan dugaan pelanggaran kepada pihak berwenang. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti GMBI, yang aktif mengawal proses demokrasi, memiliki tanggung jawab moral untuk terus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya serangan fajar.
Selain itu, Bawaslu perlu menggandeng lembaga-lembaga independen untuk memperkuat pengawasan dan transparansi dalam Pilkada. Penggunaan teknologi seperti aplikasi pelaporan digital juga dapat menjadi solusi untuk memudahkan masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran secara cepat dan anonim.
Menegakkan Marwah Demokrasi
Demokrasi adalah jalan panjang yang harus diisi dengan komitmen semua pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan integritas. Serangan fajar bukan hanya ancaman terhadap proses Pilkada, tetapi juga pengkhianatan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar kompeten dan memiliki visi yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks ini, pernyataan Sugeng SP menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk menegakkan demokrasi yang bersih tidak hanya menjadi tugas lembaga formal, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Aparat penegak hukum, lembaga pengawas, masyarakat, dan LSM harus bersatu untuk memastikan bahwa Pilkada bukan ajang transaksi, melainkan ekspresi murni kehendak rakyat.
Hanya dengan demikian, harapan akan masa depan demokrasi yang sehat dan bermartabat dapat terwujud.
Oleh : Sugeng SP, Ketua LSM GMBI Wilter Jatim