Jurus Bunga Desa (Bupati): Antara Cari Solusi, Sekedar Memenuhi Janji Atau lari Dari Masalah
Penulis : Danu Budiyono.
Aktivis Sosial Politik & Koordinator ProDEM Banyuwangi.
Sejak dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati, Ipuk Fiestiandani dan Sugirah pada bulan Februari kemarin memang telah banyak menyelesaikan permasalahan, akan tetapi juga banyak masalah yang belum selesai.
Seperti dikutip di website pemerintah Banyuwangi, https://banyuwangikab.go.id, program bupati ngantor di desa (Bunga Desa) adalah salah satu program yang dilakukan Bupati Ipuk dan Wakil Bupati Sugirah untuk menjemput bola berbagai permasalahan warga.
Dari sejumlah masalah yang dituntaskan selama Ipuk berkantor di desa antara lain sektor kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan, sertifikat rakyat, jaminan sosial, penguatan petani dan nelayan, UMKM, kepemudaan, rumah tinggal, dan sebagainya.
Dan, berdasarkan data lintas dinas, jumlah masalah warga yang telah mendapat solusi selama berkantor di tujuh desa tersebut mencapai 9.720 masalah dari berbagai sektor tersebut, di mana yang cukup banyak adalah soal administrasi kependudukan. (dikutip dari website pemda banyuwangi), tentunya patut kita apresiasi gebrakan awal pemerintahan Ipuk Sugirah ini.
Akan tetapi tentu kita masih ingat bahwa program bunga desa itu bukan hanya jemput bola permasalahan warga, akan tetapi itu sudah menjadi program visi misi saat kampanye di pilkada dulu.
Semua pasti ingat bahwa saat debat terbuka di salah satu stasiun televisi pasangan Ipuk Sugirah berjanji akan berkantor di desa-desa minimal dua kali dalam seminggu.
Artinya program bunga desa memang sudah dirancang dari awal saat kampanye dulu. Dan pada akhirnya banyaknya persoalan permasalah warga, publik pun bertanya-tanya, apakah aparat pemerintah di desa, di kecamatan bahkan level kepala dinas selama ini tidak becus bekerja ? miris sekali kalo ini terjadi…!
Atau mungkin Ipuk Sugirah dari awal tahu bahwa sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya (Anas & Yusuf) akan mewariskan ribuan masalah di tiap desa, lalu apa yang dibanggakan pemerintahan sebelumnya kalau di tujuh desa saja terdapat hampir sepuluh ribu masalah!.
Saya yakin pemerintahan sebelumnya tidak melulu pencitraan saja yang dikejar, saya juga yakin pemerintahan yang sekarang ini juga tidak mengejar pencitraan.Dan saya juga yakin puluhan ribu masalah itu tidak dibuat buat, artinya benar benar ada.
Jangan salahkan publik juga jika beranggapan ratusan desa yang lain terdapat jutaan permasalahan.
Selanjutnya tentu kita tak ingin menyarankan ipuk sugirah berkantor di rumah pak RT, karena bisa jadi di level RT juga terjadi banyak masalah.
Jangan salahkan publik juga membayangkan persoalan di level dinas, bahkan dilevel sekertariatan pemda bisa jadi begitu kompleknya permaslahan permaslahan itu.
Lalu bagaimana dengan program smart kampung, bagaimana juga dengan perijinan pelayanan satu atap yang selama ini menjadi program andalan.? Apakah berjalan sebagaimana mestinya.! Tentu publik pantas bertanya tanya.
Kita juga tak ingin Ipuk Sugirah melulu berkantor di pemda, karena kalo itu dilakukan akan muncul persaoalan persoalan baru di desa, kecamatan dan bahkan level dinas.
Selanjutnya kita juga tidak tahu apakah setelah dikunjungi Ipuk Sugirah desa-desa itu tidak ada persoalan atau permasalahan warga lagi.
Kalau dilihat gaya kepemimpinan Ipuk Sugirah yang terkesan “Ningrat” ini saya sendiri pesimis bisa memutus segala masalah/persoalan warga.
Kita bisa lihat setiap kunjungan kerja ke desa desa selalu membawa rombongan pejabat pemda, dengan protokoler dan persiapan yang matang.Seolah membuat jarak dengan rakyatnya sendiri.
Padahal kalau Ipuk Sugirah mau dekat dengan rakyatnya, mau memutus semua permasalahan bahkan yang komplek sekali pun sangat gampang.
Jangan ada jarak dengan rakyatnya, buka pendopo untuk rakyatnya.
Kalau perlu open house di kecamatan kecamatan, di pendopo setiap akhir pekan tanpa melalui protokoler, siapkan sekedar kopi atau hidangan ala kadarnya.
Kasih kesempatan rakyat mengadukan persoalannya langsung, buka hotline khusus ke rakyatnya, suruh hidupkan smua sosial media pejabat.
Kalau itu dilakukan bukan tidak mungkin, tidak ada lagi masyarakat yang demo, seperti yang dilakukan sekelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan THL yang diputus kontrak kerjanya, juga sekelompok mahasiswa yang demo beberapa waktu lalu.
Pegiat sosial media pun (Dunia Maya) akan pro aktif memberi saran dan kritik kontruktif jika para pejabat terbuka dengan sosial medianya, bukan malah memblokir atau menghapus pertemanannya.
Sudah gak jamannya para pejabat itu alergi dengan kritik, karena itu proses dialektik, tangapan atas sesuatu.
Dan ingat sebenarnya dalam tatanan demokratik, kritik tak mensyaratkan predikat tambahan.
Seperti kritik membangun atau konstruktif.
Kritik bersyarat hanya ada dalam sistem yang sesungguhnya antikritik itu sendiri.!
Kembali ke problem masyarakat didesa desa tadi, sudah sewajarnya juga DPRD Banyuwangi memanggil bupati dan wakil bupati serta steakholder terkait.
DPRD tidak boleh tinggal diam, kalau perlu bisa menggunakan hak interplasinya agar semua menjadi terbuka dan teruai semua permasalahan.
Sesungguhnya persoalan di banyuwangi ini adalah persoalan kita semua, dan sejatinya rakyat hanya butuh murah sandang, murah pangan, murah papan dan gampang cari pekerjaan, tak begitu peduli dengan politik, tak peduli juga siapa pemimpinnya.